
Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk paling utama dan
fundamental bagi umat islam. Sebagai pedoman, Al-Qur’an adalah rujukan bagi
umat untuk membentuk pribadi, kelompok maupun bangsa untuk diakui mulia oleh Sang
Pemilik alam semesta. Dampak kemuliaan hidup manusia tidak hanya akan dirasakan
oleh individu-individu tertentu saja, melainkan juga oleh seluruh alam semesta
kecuali yang menentangnya. Sekali lagi, Al-Qur’an adalah petunjuk hidup manusia,
maka sedah seharusnya manusia menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya,
tidak hanya digunakan ketika sujud kepada Tuhan-nya tapi juga digunakan untuk
seluruh aktivitasnya mulai dari hal terkecil hingga terbesar, paling sederhana
hingga yang kompleks.
Dalam membentuk individu maupun masyarakat banyak yang memiliki
kualitas hidup yang baik maka Alqur’anlah jawabannya, tentu Alqur’an harus
dijadikan sumber utama semua sistem hidup manusia.
Lalu bagaimana cara Al-Qur’an mengajarkan tentang cara hidup yang
baik? Ternyata dengan menyajikannya dalam bentuk Kisah atau Sejarah!
Dalam al-Qur’an, surat yang pertama adalah surat al-Fâtihah, yang
merupakan bagian pembuka atau pendahuluan. Surat ini merupakan surat yang
paling sering dibaca, bahkan surat ini biasanya dihafal terlebih dahulu oleh
masyarakat sebelum surat-surat yang lain. Di dalamnya mengandung do’a, sehingga
merupakan do’a yang sering dipanjatkan oleh umat muslim, setidaknya tujuh belas
kali sehari semalam, yakni pada saat melakukan shalat fardhu.
Pesan tersirat tentang perintah untuk belajar sejarah sangat kuat
terlihat dalam surat al-Fâtihah ini. Hal tersebut tampak pada ayat 6 dan 7 yang
artinya sebagai berikut :
"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."[1]
Inilah do’a yang sering kaum muslimin memanjatkannya dalam
sehari-hari. Awal surat dalam al-Qur'an itu ternyata menyiratkan perintah untuk
belajar sejarah dan mengetahui secara historis tentang generasi masa lampau.
Mungkin banyak yang tidak sadar, walaupun setiap hari setiap Muslim pasti
mengucapkannya, tetapi banyak yang tidak memiliki kesadaran untuk membaca,
mengkaji, mendalami sejarah Islam. Sehingga hasil akhirnya tidak dapat
diperoleh, karena tidak dapat petunjuk tentang siapa dan bagaimana sepak
terjang atau kiprah orang-orang terdahulu yang diberi nikmat oleh Allah SWT,
dimurkai, dan sesat.
Pada ayat yang ketujuh dari surat al-Fâtihah ini perintah tersirat
untuk belajar sejarah itu bisa kita dapatkan. Ada tiga kelompok yang disebutkan
dalam ayat terakhir ini: (1) Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah; (2)
Kelompok yang dimurkai Allah (3) Kelompok yang sesat. Ketiga kelompok ini
adalah generasi yang telah berlalu, generasi di masa lalu yang telah
mendapatkan satu dari ketiga hal tersebut.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya[2] menjelaskan
bahwa kelompok pertama (yang diberi nikmat oleh Allah) adalah: para
Nabi, para shiddiqin, para syuhada' dan para shalihin, semua yang hadir dalam
dalam do’a, mereka yang telah meninggal, yang dijelaskan lebih detail dalam
Surat an-Nisâ: 69-70.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[3], orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian
itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
Ini adalah pesan tersirat pertama agar umat Islam rajin melihat
sejarah hidup mereka. Untuk tahu dan bisa meneladani mereka, agar bisa
mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang hidupnya,
sehingga bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa
merasakan nikmat yang telah mereka rasakan. Hebatnya perjalanan hidup mereka
tercatat rapi dalam sejarah.
Imam Ibnu Katsir kembali menjelaskan[4]
bahwa mereka yang mendapat nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan
antara ilmu dan amal. Adapun kelompok kedua (kelompok yang dimurkai) adalah
kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal, sehingga mereka dimurkai.
Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sedangkan kelompok ketiga (kelompok yang
sesat) adalah masyarakat Nasrani.
Ada banyak kisah yang dipaparkan al-Qur’an dengan tujuan untuk
mendidik, bukan semata untuk bercerita, untuk memberikan pelajaran moral, untuk
mengajarkan bahwa di masa lalu Tuhan selalu memberikan balasan pahala kepada
orang-orang baik dan menghukum orang-orang jahat. Keragaman kisah itu misalnya
tentang kisah Nabi Yusuf as yang merupakan kisah yang paling menarik dan paling
realis, atau jawaban Nabi Ibrahim as dalam mengajak kaumnya untuk menyembah
Tuhan yang Esa.[5]
Dalam al-Qur’an setidaknya sepertiga isinya menceritakan tentang
sejarah dan kisah-kisah perjalanan umat terdahulu serta pelajaran dari sejarah
bangsa-bangsa. Inilah cara Allah SWT mengajarkan hambanya untuk menjadi manusia
yang mulia, yaitu dengan melihat kesudahan orang-orang terdahulu. Tentu semua
sejarah itu mengandung ibroh atau hikmah sebagai pijakan umat yang hidup hari
ini, supaya dapat melalui jalan yang benar.
Dari banyaknya ayat Qur’an yang berbicara tentang sejarah menjadi
bukti bahwa sejarah itu penting untuk dipelajari sampai pada akar-akarnya dan sebagai
cerminan bagi kehidupan di masa yang akan datang.
Terakhir, bahwa sebenarnya sejarah yang diajarkan oleh Allah lewat
Al-Qur’an pada intinya ingin menyampaikan prinsip dasar bahwa manusia yang
hidup dari pertama diciptakan hingga saat ini, cuma terbagi menjadi dua golongan
yaitu (1) yang mengikuti Al-Qur’an dan (2) yang tidak mengikuti Al-Qur’an.
Sehingga kepada manusia yang hidup saat ini hanya ada dua pilihan, mengikuti
kebenaran atau mengikuti kebatilan.
Penulis: Wahyu Indarto
Dari berbagai sumber;
Al-Qur’anul Kariim
Philip K. Hitti, History of the
Arabs. (terjemah) (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2010)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 1. Bogor: Pustaka
Imam Syafi’i, 2004
[1]
Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat:
memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan
sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Yang dimaksud dengan mereka
yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang
menyimpang dari ajaran Islam. Lihat Al-Qur’anul Kariim.
[2]
Tafsir Ibnu Katsir Juz 1. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004. halaman 35
[4]
Tafsir Ibnu Katsir Juz 1. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004. halaman 36
[5]
Philip K. Hitti, History of the Arabs. (terjemah) (Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 157.
Jazakallohu khairan...
BalasHapussama sama ..
Hapus